Suhu Jakarta dikhawatirkan akan
melonjak hingga setara dengan setengah air mendidih atau 50 derajat celcius.
Potensi ini muncul kalau terjadi pembiaran pada dampak emisi gas rumah kaca
yang makin tak terkendali. Apa solusinya?suhu udara di Jakarta pada tahun 1870
hanya berkisar 26 derajat celcius.
Ini sebanding dengan dinginnya suhu udara di kawasan
Puncak Jawa Barat, atau sejuknya temperatur di perbukitan seperti di Batu
Malang, Jawa Timur.
Tapi sekarang, seabad lebih
kemudian, kota yang dulu bernama Jayakarta ini mengalami lonjakan kenaikan
temperatur menjadi rata-rata 32 - 34 tiap harinya.
Bahkan, Jakarta pernah mencetak
suhu tertinggi pada saat cuaca
ekstrim hingga 37 derajat celcius. Apa pemicunya?
Ditemui secara terpisah, Ketua Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Tumpak Hutabarat, mengaku ikut cemas dengan
potensi lonjakan suhu di kota berpenduduk terpadat di Indonesia ini.
Apalagi ia melihat belum adanya
regulasi yang jelas tentang aturan pembangunan gedung-gedung pencakar langit
dengan desain dominan berupa kaca-kaca di semua sisi bangunannya.
Tengok saja, betapa hampir semua
gedung bank dan tower atau menara komersial amat dominan menggunakan bahan kaca
yang tidak ramah pada pembentukan kesejukan udara karena sifatnya yang
memantulkan panas, bukannya meredam atau menyerap.
"Kalau muncul kecemasan suhu Jakarta bisa mencapai
setengah air mendidih (50 derajat celcius), saya kira itu bukan tidak mungkin
terjadi," tegas Tumpak. Selain efek rumah kaca, Walhi juga memperkirakan
lonjakan suhu Jakarta
bakal merangkak naik karena dampak longgarnya kebijakan pemasaran mobil murah.
Seperti diketahui, pemerintah memang
melonggarkan produksi dan pemasaran mobil murah seperti dipamerkan di ajang
'Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013." Cukup banyak mobil jenis
Multi Purpose Vehicle (MPV) yang dibanderol kurang dari Rp 100 juta.
Dengan harga mobil baru semurah itu,
Jakarta diyakini akan
semakin macet karena merajalelanya mobil murah di jalanan. Emisi gas buang
karbondioksida dari knalpot kendaraan makin mengotori udara Jakarta. Suhu udara
Jakarta pun terus
merangkak naik.
"Ini kebijakan tabrakan
antarpejabat. Jokowi (Gubernur Jakarta) maunya transportasi massal, biar
mengurangi emisi kendaraan. Tapi Menteri Perindustrian melonggarkan aturan
mobil murah. Ya tunggu saja dampaknya," kata Tumpak, seolah melempar
warning (peringatan keras).
Di sisi lain, Jakarta juga dilanda
begitu banyak problem polusi yang menyumbang terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim. Semua jenis
polusi ada di kota mayoritas warga pendatang ini, mulai polusi udara, polusi
suara, pencemaran air, limbah pabrik, limbah rumahtangga dan gedung, cerobong
asap pabrik, serta emisi karbon yang dilepas ribuan kendaraan yang mengaspal di
jalanan saban hari.
Ia khawatir, jutaan ton polutan yang
beterbangan di udara, mencemari air tanah hingga air laut itu bakal jadi bom
waktu dan amat berisiko menjadikan Jakarta mengulang
pengalaman pahit Pakistan.
Karena kombinasi masalah yang sama,
Islamabad (ibukota Pakistan), pernah pernah dilanda cuaca ekstrim dengan suhu
lebih dari setengah air mendidih. Persisnya 70,5 derajat celcius pada tahun
2010 lalu.
"Saat itu banyak orang
meninggal karena dehidrasi dan tak tahan panas," tuturnya. Pengalaman sama
terjadi di sebuah kota di India di tahun yang sama, yang mencetak angka
temperatur 47 derajat celcius.
Sementara di Indonesia, dalam
catatan Walhi, temperatur tertinggi pernah terjadi Kalimantan Tengah, tepatnya
di daerah Pulang Pisau yakni 40 derajat celcius tahun 2012 lalu. Bahkan di
tahun yang sama, kota Ketapang warganya tersiksa kenaikan suhu hingga 42
derajat celcius.
Kalau di Jakarta cuaca ekstrim dipicu efek
rumah kaca, di Kalimantan pemicunya adalah parahnya kerusakan hutan yang
dirambah untuk dieskploitasi kayunya guna kepentingan komersial dan perumahan.
"Yang pasti, kenaikan suhu
daerah lain kan juga mengimbas ke Jakarta dan sebaliknya?"
tegasnya.
Sebagai gambaran umum, problem Gas
Rumah Kaca (GRK) di Kota Jakarta
sendiri bersumber terutama dari energi (pembangkit/pemakaian listrik,
transportasi, industri, rumah tangga, usaha komersial) dan limbah (baik limbah
padat/sampah kota maupun limbah cair domestik).
2030, Emisi Karbo Naik Lima Kali
Lipat
Data yang dilansir Badan Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta
menyebutkan, profil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Kota Jakarta pada tahun 2005
lalu, penyumbang terbesarnya dari sektor transportasi dan pembangkit listrik.
Masing-masing persentasenya sebesar
44,89 persen dan 40,74% persen. Sedangkan sektor industri, sampah, dan rumah
tangga persentasenya masing-masing sebesar 5,17 persen, 5,06 persen dan
4,10 persen.
Dari data tersebut, hasil
perhitungan emisi GRK dari dua sumber utama adalah sektor transportasi dan pembangkit
(pemakaian listrik) masing-masing sebesar 19,61 juta ton dan 17,79 juta ton
CO2.
Bila tidak ada antisipasi serius,
diperkirakan pada tahun 2030, emisi CO2 tersebut akan melonjak lebih dari lima
kali lipat hingga mencapai lebih dari 200 juta ton CO2 mencemari atmosfer
ibukota.
Tentunya emisi sebesar itu merupakan
sebuah angka yang luar biasa bila hal tersebut tidak ditindaklanjuti. Bisa
dibayangkan betapa makin tidak ramah ibukota negeri terhadap warganya sendiri.
Melalui situs Jakarta.go.id, Pemprov
DKI Jakarta sendiri mengklaim
tidak tinggal diam. Salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda)
No 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Kebijakan lain yakni Surat Keputusan
(SK) Gubernur no. 141 yang mendesak semua kendaraan dinas Pemprov Jakarta menggunakan bahan
bakar gas ramah lingkungan seperti CNG (Compress Natural Gas).
Ini pula yang telah digunakan moda
transportasi TransJakarta (busway). Yang kedua adalah LPG (Liquid Petroleum
Gas).
Minimnya Ruang Terbuka Hijau
Fenomena global warming dalam
konteks kenaikan suhu udara
memang sulit dihindari semua negara, semua kota. Tapi faktor pemicu lokal tak
kalah memperparah.
Manager Building Construction
Information (BCI) Asia Ashlakul Umam yang dikonfirmasi secara terpisah
menuturkan, bahan bangunan berupa kaca sudah saatnya dilarang di Jakarta, karena
sifatnya yang memantulkan panas dan bukannya meredam.
Standar ideal, struktur kaca pada
tiap gedung harusnya tidak boleh lebih dari 30 persen. Tapi nyatanya banyak
gedung mayoritas berkaca karena tampak mentereng dan 'angkuh.'
Sialnya, Ruang Terbuka Hijau (RTH)
sebagai peredam panas dan penghasil oksigen di Jakarta cuma tersedia tak
lebih dari 10 persen dari total wilayah 65 ribu hektar.
Padahal Undang-undang No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang Perkotaan mensyaratkan ketersedian RTH minimal 30
persen, terdiri atas 20 persen milik pemerintah dan 10 persen pribadi.
Parahnya lagi, pada tahun 2000
hingga 2005, Jakarta
kehilangan 4.000 hektar RTH, terdiri atas 3.500 hektar kawasan resapan air di Jakarta Selatan dan 500
hektar di berbagai wilayah Jakarta
akibat perubahan fungsi lahan.
"Padahal di mana ada ruang
terbuka hijau, di situ udaranya lebih sejuk 2 derajat dibanding yang tidak ada
pepohonan," tutur Umam kepada Tribunnews.com. Selain penyejuk udara alami,
RTH juga menyerap karbondioksida yang dilepaskan kendaraan bermotor.
Berdasarkan laporan yang dirilis
WWF, Climate Change: Implications for Humans and Nature tahun 2007, suhu udara di Indonesia
cenderung naik rata-rata 0,3 derajat celsius per tahun.
Jadi bisa dibayangkan, kalau
temperatur Jakarta
saat ini yang rata-rata 33-34 derajat celcius itu pelan-pelan akan terus
merangkak naik, mendekati 50 derajat celcius atau separuh panasnya air
mendidih! Bisa jadi lebih, seperti pengalaman Pakistan, terutama kalau problem
pemicunya tidak segera diantisipasi.
Meski isu pemanasan global terus
menghantui, anehnya aktifitas mengonsumsi bahan bakar fosil, limbah padat dan
sebagainya malah terus mengalami lonjakan, semakin pula memperbanyak
karbondioksida melayang-layang di atmosfir.
Pada saat yang sama terjadi
perambahan hutan dengan alasan mendesaknya kebutuhan perumahan dan produksi
pangan yang ujung-ujungnya menyumbang pemanasan global.
Di sisi lain penggunaan bahan bakar
fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Hal yang sama terjadi di
Indonesia, seiring lonjakan jumlah kendaraan yang mengaspal di jalanan maupun
kebutuhan industri.
Untuk diketahui, total konsumsi
energi Indonesia selama tahun 2007 sebesar 5,18 EJ. Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) merinci, konsumsi energi ini berasal dari energi
fosil sebesar 95 persen, Hydropower 3,4 persen, panas bumi 1,4 persen, dan
lainnya 0,2 perten (data tahun 2003).
Artinya, ketergantungan pada minyak
dari perut bumi masih dominan.
Pencemaran lingkungan sulit
dibendung. Sebuah riset menyebut Indonesia menjadi negara dengan tingkat polusi
udara tertinggi ketiga di dunia. Bank Dunia bahkan memposisikan Jakarta sebagai kota
dengan kadar polutan/partikulat tertinggi di jagat ini setelah Beijing, New
Delhi dan Meksiko.
Divisi Pengkajian Ozon dan Polusi
Udara di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyebutkan,
penyulut pencemaran udara terbesar di Indonesia adalah emisi gas buang dari
kendaraan bermotor, yaitu sekitar 85 persen.
"Faktor perawatan kendaraan
yang tidak memadai dan pemakaian bahan bakar yang boros, juga cenderung
menghasilkan kadar timbal tinggi yang merusak kualitas udara," kata
Tubagus Soleh Ahmadi, peneliti dari Walhi Jakarta, saat ditemui secara
terpisah.
Peneliti lingkungan, Ir Rusman
Sagala MT, lewat makalahnya memaparkan, kalau tahun 2005 volume emisi karbon
(CO2e) di Jakarta
mencapai 35,09 juta ton, maka diperkirakan pada tahun 2030 mendatang bakal
tembus 113,94 juta ton.
Bisa dibayangkan dong, betapa
buruknya kualitas udara Jakarta, rusaknya ozon dan gerahnya suhu udara. Aneka
penyakit kulit dan gangguan pernafasan seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan
Atas) menghantui.
Rusman menyebutkan, penyumbang
terbesar emisi karbon adalah sektor industri sebesar 29 persen. Secara kasab
mata memang mudah dibuktikan, karena Jakarta dikelilingi
kota-kota industri. Keluar sedikit dari kota, cerobong asap pabrik mengepul di
mana-mana.
Di peringkat kedua adalah limbah
rumahtangga 24 persen, disusul gas buang transportasi 20 persen, sektor
komersial 15 persen, timbunan sampah 6 persen, emisi lainnya 4 persen dan
limbah cair 2 persen.
Rasanya semakin ngeri melihat makin
besarnya potensi polutan di masa mendatang bila menilik cepatnya lonjakan
jumlah kendaraan bermotor.
Untuk sepeda motornya saja,
misalnya. Kalau pada 2005 jumlah sepeda motor yang melenggang di jalanan baru
di angka 2,5 juta unit, maka pada 2029 diperkirakan tembus angka 14 juta lebih.
Jumlah mobil yang pada 2005 baru
satu juta unit, maka 2029 ditaksir melonjak jadi empat juta unit!
Sementara berdasarkan data
Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, pada 2009, jumlah kendaraan bermotor
mencapai 9.993.867 unit. Angka ini meningkat 15 persen pada 2010 dengan
total angka 11.362.396, terdiri atas roda dua sebanyak 8.244.346 unit dan roda
empat sebanyak 3.118.050 unit.
Angka ini belum termasuk jumlah
angkutan yang melintas dalam satu trayek. Berdasar data Direktorat Lalulintas
Polda Metro Jaya angkanya mencapai 859.692 unit.
Padahal panjang jalan di Jakarta cuma 7.650 km.
Luas luas hanya jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas wilayah DKI. Sedangkan
pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro
Jaya Komisaris Besar Royke Lumowa mengingatkan Jakarta bakal macet total
alias stuck tak lama lagi, yakni 2014, tahun depan.
"Kalau melihat pertumbuhan
kendaraan sekitar 700 per hari, maka kami prediksi 2014 jalan di Jakarta sudah stuck. Kalau
tidak ada kebijakan membatasi angka kendaraan tentu akan semakin parah
kondisinya," ujar Royke, Senin (1/8/2011) di Polda Metro Jaya kepada pers,
termasuk Tribunnews.
Kecuali, bila obsesi transportasi massal
ala Gubernur Jukowi bisa segera terwujud dan volume kendaraan bisa direm.
Tapi, lagi-lagi cita-cita ini
bertabrakan dengan target kerja Kementerian Perindustrian yang mendorong
sebanyak-banyaknya penjualan produk otomotif. Wah, ya repot!
Solusi Gas Rumah Kaca
Karena pemanasan global dipicu oleh
meningkatnya emisi gas rumah kaca yang melayang-layang di atmosfer, maka sumber
emisi itu harus ditekan.
Apalagi sumbernya kalau aktivitas
manusia yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil seperti pada
kendaraan bermotor, juga penggunaan alat elektronik.
Walhi Jakarta meyakini, bila
emisi gas rumah kaca tidak ditekan, diperkirakan tidak hanya pemanasan global
yang mengintai tapi juga krisis air bersih di Jakarta akibat
meningkatnya permukaan air laut yang mengintrusi air tanah serta makin
tingginya frekuensi penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk.
"Ini karena meningkatnya suhu
membuat masa inkubasi nyamuk makin pendek," kata Tubagus Soleh dari Walhi Jakarta kepada Tribunnews.
Pihaknya menyerukan kampanye
memerangi efek rumah kaca, antara lain:
- Menggunakan penerangan listrik
seperlunya dengan lampu yang hemat energi.
- Menggalakkan transportasi massal,
menekan jumlah mobil pribadi.
- Kalau perlu, gunakan
kendaraan non-motor. Seperti dicontohkan Walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang
boro-boro mau menunggangi fasilitas mobil dinas yang nyaman, malah memilih
gowes, naik sepeda dari dan ke kantor tempatnya bertugas, meski harus
bercucuran keringat di tengah siang terik.
- Moratorium penebangan hutan dan
kampanye menanam pohon di setiap rumah.
Mengenai ide menanam pohon di tiap
rumah ini, aktris Widyawati amat sepakat. "Coba bayangkan, kalau di depan
tiap rumah ada satu pohon besar saja, betapa sumbangsihnya besar dalam menyerap
karbon dan menyuplai oksigen buat sesama," timpal pemain film senior
Widyawati Sophiaan.
Karena itu, wanita yang tetap cantik
di usia senja ini amat gembira melihat fenomena makin maraknya gaung gerakan go
green, isu-isu back to nature, isu ramah lingkungan, dan kampanye sejenis lain.
"Saya lihat, program CSR
(Corporate Social Responsibility) perusahaan-perusahaan dan institusi di Jakarta juga banyak yang
mengarah ke gerakan menanam sejuta pohon dan sejenisnya. Baguslah!" gumam
Widya.
Kini bermunculan pula LSM dan
tokoh-tokoh penyelamat lingkungan di Jakarta. Tak sedikit yang menggaungkan
produksi pangan organik yang konon pestisida kimia.
Aktivitas masyarakat menanam pohon
mulai banyak dilakukan. Begitu juga kesadaran menggunakan barang yang berasal
dari daurulang dan pengurangan plastik.
Walhi Indonesia masih mengingat
pidato Presiden Yudhoyono pada suatu pertemuan internasional tentang lingkungan
di Nusa Dua Bali, pada Februari 2010.
Pada pidatonya, SBY berjanji,
Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbonnya sampai 26 persen pada tahun
2020.
Saat itu, SBY mengklaim sudah banyak
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia yang tujuannya meningkatkan
penggunaan sumber energi non fosil (terbarukan).
"Janjinya indah, tapi
implementasinya belum maksimal," tutur Tumpak Hutabarat, Ketua Walhi
Indonesia.
Bukan Problem Terlalu Sulit
Kalau memang masalah besarnya adalah
emisi gas rumah kaca, salah satu solusi yang ditawarkan Walhi adalah listrik
ramah lingkungan sebagai sumber energi utama. Artinya listrik dengan pembangkit
yang tidak memakai Bahan Bakar Minyak (BBM).
Cukup menggunakan energi air terjun
atau hempasan angin dan matahari yang jelas-jelas melimpah ruah di segala
penjuru Indonesia yang beriklim tropis ini.
Ini langkah mewujudkan janji
mengurangi emisi karbon sampai 26 persen pada tahun 2020. Bahkan bisa melebihi
target yang diperkirakan.
Kalau negeri ini telah berhasil
dalam hal swasembada listrik, secara otomatis penggunaan bahan bakar fosil
dapat ditekan. Mesin-mesin yang selama ini masih mempergunakan bahan bakar
fosil dapat dialihkan ke listrik. Misalnya kendaraan listrik, mesin industri
dan sebagainya.
Ketakutan pada isu temperatur Jakarta akan mendekati suhu setengah air mendidih bisa sirna.
Ketakutan pada isu temperatur Jakarta akan mendekati suhu setengah air mendidih bisa sirna.
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/09/30/efek-rumah-kaca-suhu-jakarta-bisa-melonjak-hingga-setengah-air-mendidih